Jumat, 27 April 2012

Sejarah Industri Tekstil Majalaya

SEJARAH tidak berarti apa pun jika hanya dianggap sebagai cerita yang telah lalu dan tanpa melihat relevansi dengan periode berikutnya. Mengutip sejarawan Robert B. Cribb, ”Sejarah adalah suatu proses yang berkesinambungan. Sejarah perlu dikaji sebagai dalam kerangka yang koheren dari suatu periode ke periode berikutnya.” Oleh karena itu, sejarah tidak hanya menggambarkan penggalan waktu tertentu saja, tapi lebih bisa digunakan sebagai alat untuk mengkaji periode selanjutnya.
Di tengah gembar-gembor rekonstruksi sejarah nasional yang selama ini banyak dilencengkan untuk mendukung hegemoni kekuasaan, muncul juga keinginan untuk membuat sejarah lokal. Salah satu contoh adalah munculnya keinginan dari segelintir warga Majalaya untuk membuat sejarah lokal. Diharapkan bahwa sejarah lokal tersebut tidak hanya dibuat sebagai sebuah dokumentasi yang bisa diakses oleh generasi berikutnya untuk mengetahui sejarah leluhur mereka. Akan tetapi, sejarah lokal Majalaya juga bisa dijadikan bahan referensi proses perbaikan kondisi Majalaya saat ini.
Cerita sejarah lokal Majalaya tidak bisa dilepaskan dari kegiatan ekonomi dominan setempat, yaitu industri tekstil. Perkenalan masyakarat setempat dengan kegiatan tekstil telah terjadi sejak lama dan masih berlangsung hingga saat ini. Namun dalam perjalanannya telah terjadi banyak pergeseran yang mengakibatkan kontrol terhadap industri tekstil sudah tidak berada di tangan mereka. Posisi usaha mereka sudah banyak yang tidak independen dan menjadi maklun perusahaan besar maupun menengah. Perubahan-perubahan tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai kebijakan ekonomi dan politik tingkat makro. Oleh karena itu, sejarah industri tekstil Majalaya dari sisi pengusaha dan buruh serta berbagai kebijakannya menjadi penting untuk ditelusuri sebagai sebuah proses pembelajaran dan refleksi.
Sejarah industri tekstil Majalaya
Majalaya memiliki sejarah industri tekstil yang cukup panjang. Tahun 1930-an merupakan tonggak awal perkembangan industri tekstil Majalaya yang dipelopori oleh beberapa pengusaha tekstil lokal seperti Ondjo Argadinata, H. Abdulgani, dsb. Masa-masa tersebut juga diwarnai dengan mulai bermunculannya industri tenun rumahan yang masih menggunakan tustel (alat tenun bukan mesin). Penyebaran kegiatan menenun berlangsung cukup cepat karena (1) tingginya persentase rumah tangga yang tidak memiliki lahan dan melakukan pertanian marginal (2) kegiatan menenun merupakan tradisi lama, namun masih menjadi tipikal keterampilan perempuan kelas menengah (Hardjono, 1990 dan Pleyte, 1912 dalam Keppy, 2001). Selain itu keterlibatan buruh-buruh di pabrik-pabrik tenun pada awal tahun 1930-an memberi bekal mereka untuk membuka usaha tenun sendiri.
Saat pasar semakin terbuka mereka dengan mudah mengambil kesempatan tersebut karena modal yang diperlukan untuk membeli alat tenun masih murah dan bahan baku bisa diperoleh dari para pengusaha seperti putting out system. Pada masa-masa berikutnya industri tenun rumahan semakin menjamur di mana-mana. Hampir setiap penduduk Majalaya memiliki peralatan tenun dan membuka usaha tenun sendiri. Oleh penduduk yang telah berusia lanjut masa tersebut dikenang sebagai masa-masa keemasan Majalaya.
Industri tenun Majalaya mencapai puncaknya pada awal tahun 1960-an dan mampu memproduksi 40% dari total produksi kain di Indonesia. Akhir tahun 1964 Majalaya menguasai 25% dari 12.882 ATM (Alat Tenun Mesin) di Jawa Barat. Hampir seluruhnya terkonsentrasi di Desa Majalaya dan Padasuka (saat ini dimekarkan menjadi 3 desa, yaitu Desa Sukamaju, Padamulya, dan Sukamukti) (Palmer, 1972 dan Matsuo, 1970). Namun, hal ini merupakan kemajuan secara umum karena jika ditelusuri pada saat yang sama para pengusaha tenun lokal sudah mulai kehilangan pengaruhnya dan untuk mempertahankan kelangsungan produksi banyak perusahaan lokal yang beralih ke sistem maklun.
Industri tenun rumahan juga sudah mulai tergeser dan bangkrut karena tidak mampu bersaing dengan produk yang dihasilkan oleh ATM. pada masa-masa berikutnya mereka beralih melakukan kegiatan usaha yang sangat marginal, seperti pembuatan kain lap, urung kasur, dsb. Sejak tahun 1970-an banyak pabrik-pabrik pribumi yang dijual terhadap pengusaha asing atau WNI nonpribumi. Penjualan pabrik ini merupakan titik akhir dari rangkaian proses pengambilalihan perusahaan pribumi oleh pengusaha asing atau WNI nonpribumi.
Di era tahun 1973-1981 Indonesia mengalami masa oil boom dan sifat industrialisasinya sangat eksklusif pada substitusi impor. Faktor-faktor yang menentukan orientasi ke dalam adalah menumpuknya permintaan konsumen yang belum terpenuhi, cepatnya pertumbuhan ekonomi dalam negeri yang dimotori oleh kenaikan harga-harga komoditas dan meluasnya campur tangan pemerintah. Keberhasilan industrialisasi yang berorientasi ke dalam dihambat oleh terbatasnya pasar dalam negeri. Pada awalnya, ekspansi industri terjadi dengan cepat karena pasar dalam negeri sudah tersedia dan dibantu oleh kebijakan proteksi. Namun lambat laun mulai menyusut karena pasar dalam negeri telah terpenuhi (Manning, 1998 ; Ariff dan Hill, 1988).
Sebagai akibat kebijakan substitusi impor, posisi industri tekstil dihadapkan pada: (1) inefisiensi, (2) tingkat produktivitas yang rendah, (3) tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap bantuan luar negeri, dan (4) iklim usaha yang kurang menunjang, seperti tingkat bunga bank yang tinggi. Kondisi ini akan berakibat langsung terhadap kemampuan atau daya saing Indonesia di pasar internasional (orientasi ekspor) (Kusnadi, 1985).
Pada awal tahun 1980-an, industri tekstil Indonesia mengalami kemandekan akibat terlalu besarnya ekspansi yang dilakukan pada tahun 1970-an. Jumlah produk yang dihasilkan terlalu besar sehingga pasar domestik mengalami kelebihan pasokan. Tahun 1981-1982 merupakan titik terburuk hingga memerlukan reorganisasi dan restrukturisasi terhadap keseluruhan industri yang secara terus-menerus ditekankan di tingkat nasional. Banyak pengusaha kecil di Majalaya mengalami bangkrut. Beberapa menutup usahanya, sedangkan lainnya mengurangi produksi secara drastis, yaitu hanya menggunakan 50% dari alat tenun yang dimilikinya dan pengurangan jam kerja menjadi 1 shift (7 jam/hari) biasanya 2 shift (10 jam/hari). (Kompas, 30 September 1982 dan UPT, 1983 dalam Hardjono, 1990). Krisis ini berkaitan dengan dampak resesi dunia terhadap perekonomian Indonesia yang mengakibatkan daya beli dalam negeri semakin menurun, proteksi dari negara-negara pengimpor terutama Eropa dan Amerika Serikat, kesulitan likuiditas, dsb. (Kusnadi, 1985).
Untuk mengatasi krisis tersebut pemerintah memperkenalkan sertifikat sistem ekspor dan fasilitas kredit bank (Wibisono, 1987 dalam Hardjono, 1987). Berkaitan dengan peninjauan kembali kebijakan substitusi impor, pemerintah mendorong produksi untuk orientasi ekspor. Sebelumnya pabrik-pabrik besar memproduksi kain kualitas menengah yang jangkauannya untuk konsumen domestik. Padahal secara teknis mereka dapat memproduksi kain yang berkualitas lebih baik.
Dengan terbukanya kesempatan ekspor mereka diharapkan dapat memproduksi kain yang berkualitas tinggi untuk pasar ekspor sehingga dapat mengurangi kompetisi di pasar domestik (Ariff dan Hill, 1988; Hardjono, 1990). Upaya pemerintah yang lain adalah melakukan program ”bapak angkat”. Program ini tidak berjalan karena sejak awal telah muncul keluhan-keluhan dari ”bapak angkat” mengenai rendahnya kualitas kain yang diproduksi ”anak angkat”. Sementara itu, ”anak angkat” juga mengeluhkan rendahnya keuntungan yang diperoleh.
Akan tetapi pada praktiknya, program ini tidak berbeda jauh dengan sistem maklun (sistem subkontrak). Akhirnya produsen-produsen kecil sudah tidak tertarik lagi dengan program ini. Akhir tahun 1985, secara umum industri tekstil Majalaya mulai berada dalam posisi yang lebih baik daripada awal tahun 1980-an. Mereka mulai meraih keuntungan dari kemunculan pabrik-pabrik besar di berbagai daerah, seperti Kotamadya Bandung dan kecamatan-kecamatan di Dayeuhkolot, Cimahi, serta Ujungberung.
Mayoritas produsen Majalaya mulai merasakan perluasan pasar ini (Hardjono, 1990). Namun ini juga berarti kontrol terhadap keberlangsungan industri tekstil Majalaya menjadi semakin jauh dari tangan para pengusaha lokal karena sangat bergantung pada order dari industri-industri besar tersebut. Sementara risiko yang harus ditanggung cukup tinggi karena mereka harus berurusan langsung dengan para buruhnya. Segala macam tuntutan buruh tidak ditujukan pada pemberi order, tapi pada penerima order yang jika diperhatikan dalam keseluruhan rantai produksi yang ada mereka juga dikategorikan sebagai buruh.

sumber: batikyogya.wordpress.com/2008/08/21/pengetahuan-tekstil/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar