mengenal alat sablon
Sebelum
kita tau tentang teknis proses menyablon, lebih dahulu kita kudu kenal
beberapa peralatan dan perlengkapan yang penting dalam sablon.
Peralatan
inti yang kita butuhin beserta penjelasannya ney..
1. Film sablon. Ni
bisa dikatakan model gambar/desain/tulisan yang bakal kita tuangkan
dalam obyek sablon (kaos, kertas, plastik, karton, dsb. Film ini dibikin
melalui desain komputer yang diprint pake tinta laser (sebenere pake
tinta printer biasa siy bisa aja, tapu hasilnya kurang bagus/tajam).
Desain sablon kebanyakan dibikin pake Corel ataupun Adobe.
2. Screen (baca: skrin), ni media
yang dipake untuk mengantarkan tinta sablon ke obyek sablon. Bentuknya
balok yang disusun persegi empat kemudian dipasang kain khusus.
Ukurannya bermacam-macam, misalnya ada screen yang berukuran 30×40cm,
20×30 cm, sampe ada screen ukuran “raksasa” yang biasa dipake wat bikin
spanduk.
3. Rakel. Ni temennya Screen, gunanya untuk mengkuaskan
tinta sablon yang ada di Screen supaya tercipta gambar di obyek sablon.
Bahannya dari karet yang diberi pegangan kayu memanjang.
4. Tinta sablon. Bermacam-macam
jenis dan nama tinta bergantung dari sablonan apa yang mo kita bikin.
Tinta yang buat sablon kos aja ada banyak macamnya. Ada juga tinta
sablon kaos yang bisa bikin timbul setelah kita setrika.
5. Cairan-cairan
pencampur. Ni gunanya wat mencampurkan tinta agar sesuai dengan
tingkat kekentalan and warnanya. Bisa cairan M3, M3 Super, tinner,
minyak tanah, dan sebagainya.
6. Meja sablon. Tentunya kalo kita mo
nyablon perlu meja sablon wat ngletakin obyek sablonannya. Meja sablon
ni terbuat dari rangka besi ato kayu. Di bagian atas adalah kaca
transparan, dan dibawahnya diletakkan lampu neon agar bisa terlihat
jelas saat menyablon.
7. Hair dryer. Jangan kira alat ini cuman
dipake di salon aja. Ni berguna untuk mengeringkan sablonan, apalagi
pada saat musim hujan yang jarang ada sinar matahari terik.
8. Lampu Neon, temannya
meja sablon. Diletakkan di bawah kaca meja yang ditempel dengan rangka
besi ataupun kayu.
9. Tempat penjemuran. Ini bisa
berupa kayu panjang berukuran 1,5 meter untuk tempat menjemur kaos yang
sudah disablon agar cepat kering. Jumlahnya tergantung banyaknya kaos
yang disablon. Peran sinar matahari terik sangat dibutuhkan agar proses
pengeringan lebih cepat.
10. Beberapa peralatan pendukung. Seringnya
kita lebih banyak membutuhkan beberapa peralatan pendkung agar menyablon
lebih mudah dan cepat. Banyak perlatan yng kadang tak terpikirkan malah
bisa mmebantuk proses menyablon ini.
http://ranthi-ryrhaciliq.blogspot.com/2009/09/desain-produk-tekstil.html
Sabtu, 28 April 2012
TUJUAN PROGRAM KEAHLIAN KRIYA TEKSTIL
Program
Keahlian Kria Tekstil SMK Negeri 9 Surakarta bertujuan untuk:
Lingkup pekerjaan bagi lulusan Program Keahlian Kria Tekstil SMK Negeri 9 Surakarta :
1. Menggambar Produk Kria Tekstil
2. Makrame
3. Merenda atau Rajut
4. Menenun atau Tapestry
5. Menjahit Perca
6. Menjahit Tindas dan Aplikasi
7. Menyulam atau Kristik
8. Membatik
9. Cetak Saring atau Sablon
http://ranthi-ryrhaciliq.blogspot.com/2009/09/desain-produk-tekstil.html
- Meningkatkan keimanan dan ketaqwaan peserta didik.
- Mendidik peserta didik agar menjadi warga negara yang bertanggung jawab.
- Mendidik peserta didik agar dapat menerapkan hidup sehat, memiliki wawasan pengetahuan dan seni.
- Mendidik peserta didik dengan keahlian dan
keterampilan dalam Program Keahlian Kriya Tekstil
agar dapat bekerja baik secara mandiri atau mengisi lowongan pekerjaan yang ada di dunia usaha dan dunia industri sebagai tenaga kerja tingkat menengah. - Mendidik peserta didik agar mampu memilih karir, berkompetisi, dan mengembangkan sikap profesional dalam Program Keahlian Kria Tektil.
- Membekali peserta didik dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan sebagai bekal bagi yang berminat untuk melanjutkan pendidikan
Lingkup pekerjaan bagi lulusan Program Keahlian Kria Tekstil SMK Negeri 9 Surakarta :
1. Menggambar Produk Kria Tekstil
2. Makrame
3. Merenda atau Rajut
4. Menenun atau Tapestry
5. Menjahit Perca
6. Menjahit Tindas dan Aplikasi
7. Menyulam atau Kristik
8. Membatik
9. Cetak Saring atau Sablon
http://ranthi-ryrhaciliq.blogspot.com/2009/09/desain-produk-tekstil.html
Jahit Tindas
1. Pengertian
Jahit
tindas (quilting) adalah teknik menghias permukaan kain dengan cara
melapisi atau mengisi kain dengan bahan pelapis atau pengisi kemudian
dijahit tindas pada permukaan kain sesuai dengan rencana.
Jahit
tindas adalah teknik pembuatan suatu benda kerajinan tekstil dengan
cara mengisi atau melapiskan kain dengan bahan pelapis, kemudian dijahit
pada bagian atas kain sesuai dengan desain.
2. Jenis jahit tindas:
1. Jahit tindas pengisi lembaran
(wadded quilting)
merupakan teknik menjahit dengan
cara mengisi atau melapisi diantara dua kain dengan bahan pelapis yang
berupa lembaran, kemudian dijahit sesuai pola (gambar).
2. Jahit tindas pengisi susulan
(padded/stuffed quilting)
merupakan teknik menjahit tindas
datar tetapi pada bagian tertentu ditambahkan isian susulan (busa,
dakron) untuk mendapatkan kesan yang lebih menonjol.
3. Jahit tindas pengisi tali (corded
quilting)
Pada prinsipnya sama dengan pengisi susulan, bedanya
menggunakan tali, penyelesaian bisa dijahit mesin atau tangan.
4. Jahit tindas efek bayangan
merupakan
gabungan dari jahit tindas pengisi lembaran, susulan/tali hanya ada
penambahan kain transparan pada permukaan kain.
3. Bahan pelapis:
- Koldore
- Dakron
- Busa
- Tali
- Kapas
C. Bahan dan Alat
1. Bahan yang digunakan untuk membuat
kerajinan tekstil dengan teknik jahit perca dan jahit tindas, antara
lain:
Bahan utama:
- Kain
- Bahan pelapis
- Benang jahit
Bahan pembantu
- Kertas pola
- Fislin
- Perekat
- Kain kertas
- Asesoris (renda, bisban,dll)
2. Alat yang digunakan:
- Alat tulis-menulis
- Mesin jahit
- Mesin obras
- Gunting
- Mitlen (meteran kain)
- Jarum jahit tangan
- Jarum jahit mesin
- Jarum pentul
- Rader
- Kapur jahit
- Pendedel (cukit)
JAHIT PERCA
A. Jahit Perca
1. Pengertian
Perca
adalah sisa-sisa guntingan kain yang ada setelah membuat pakaian atau
karya kerajinan tekstil lainnya.
Jahit perca adalah teknik membuat
suatu benda kerajianan tekstil yang terdiri dari guntingan-guntingan
kain atau perca yang sudah dipola, kemudian digabungkan menjadi satu
dengan cara dijahit.
Jahit perca adalah proses pembuatan
suatu produk kerajinan tekstil yang terbuat dari potongan-potongan
kain/perca yang digabungkan dengan cara dijahit sesuai dengan rencana.
2. Jenis jahit perca
Ditinjau
dari pembuatnnya dapat dibedakan menjadi:
1. Cara acak (tak beraturan)
adalah
teknik jahit dengan menggabungkan guntingan-guntingan kain dengan
bentuk dan ukuran potongannya tidak sama.
2. Cara jiplakan pola (template)
adalah
teknik jahit dengan menggabungkan guntingan-guntingan kain yang dipola
terlebih dahulu dan selanjutnya dijahit sesuai rencana.
3. Cara tumpang tindih (overlapping)
adalah
teknik jahit dengan mengabungkan guntingan-guntingan kain yang dipola
terlebih dahulun dengan cara meletakkan pola pada bagian tengah di atas
kain telah disiapkan dan selanjutnya dijahit bagian tepinya. Kemudian
tindihlah dengan pola berikutnya dengan cara dijahit dengan arah dari
tengah ke tepi hingga selesai secara keseluruhan.
4. Cara jelujur
adalah
teknik yang biasanya digunakan untuk memberi kesan keindahan, untuk
menggabungkan tetap dikerjakan dengan teknik mesin, sifatnya hanya
penghias.
5. Cara pola geometris
adalah
teknik jahit dengan menggabungkan guntingan-guntingan kain dengan
bentuk pola-pola geometris (segitiga,segiempat) yang terukur dan dijahit
sesuai dengan desain.
sumber:http://qoyyimb.blogspot.com/2011/11/tapestry.html#!/2011/11/tapestry.html
BERBAGAI MODEL SMOK
Model smok cukup beragam. Dalam uraian ini akan
dijelaskan mengenai cara pembuatan 8 model smok yang masih bisa
dikembangkan menjadi berbagai variasi lagi. Misalnya dengan mengubah
ukuran dan bentuk pola. Smok yang dibuat dengan pola bujur sangkar akan
tampak agak berbeda apabila dibuat dengan pola persegi panjang.
A. Cara membuat berbagai model smok
Untuk membuat smok, mula-mula dibuat pola kotak-kotak dengan ukuran 1 cm x 1 cm dengan jumlah tertentu sesuai dengan panjang dan lebar yang dikehendaki. Ukuran 1 cm x 1 cm bukanlah ukuran baku karena jika menginginkan model smok lebih besar bisa digunakan ukuran 1,5 cm x 1,5 cm, 2 cm x 2 cm, dan seterusnya. Bahkan, adakalanya yang lebih menyukai ukuran smok yang lebih kecil. Bila demikian, pola bujursangkar yang dibuat bisa berukuran 0,5 cm x 0,5 cm. Setelah pola dibuat di atas kain bagian belakang, selanjutnya bisa dipersiapkan jarum dan benang jahit. Benang yang digunakan sebaiknya berwarna senada dengan bahan agar terlihat lebih rapi. Apabila baik pola maupun jarum dan benangnya telah siap, sambil memperhatikan garis pola mulailah menjahit dari kiri ke kanan mengikuti petunjuk pola setiap model smok (perhatikan angka dan tanda panah pada kotak pola). Sebagai contoh, bila kita akan membuat smok model ombak besar . Jahit titik pada nomor 1 dengan benang lalu arahkan jarum ke titik nomor 2. Setelah nomor 2 ditusuk, tarik hingga titik nomor 1 menyatu dengan titik nomor 2 kemudian dijahit mati. Dari titik nomor 2 lanjutkan langkah jarum menuju ke titik nomor 3. Tarik kemudian hingga nomor 2 dan 3 menyatu. Setelah kedua titik menyatu kemudian dijahit mati. Sementara dari titik nomor 3 ke nomor 1 ditusuk biasa dan jangan sampai dijahit mati. Demikian seterusnya ke arah samping kanan hingga panjangnya sesuai dengan yang dikehendaki. Langkah yang sama bisa dilanjutkan pada baris ke dua, tiga, dan seterusnya (ke arah bawah). Berikut akan diuraikan mengenai cara pembuatan delapan model smok.
1. Model sirip
Model smok ini sengaja disebut dengan model sirip karena bila diperhatikan secara seksama, bentuknya menyerupai sirip ikan. Model sirip banyak diminati karena ukurannya yang kecil sehingga hasil smoknya tampak lebih indah dan rapi. Ukuran pola yang dibuat bisa berukuran 0,5 cm x 0,5 cm, 1 cm x 1 cm, atau tergantung selera. Cara membuatnya pun cukup mudah. Sambil melihat garis pola pada kain, ikuti saja tanda panah dan perhatikan titik-titik bernomor pada pola smok. Untuk mempermudah pembuatan smok model sirip ini, berikut akan diuraikan mengenai urutan pengerjaannya beserta pola model yang dilen-kapi dengan nomor dan tanda panah (arah jahitannya). Ukuran garis pola: lcm xlcm
Model Sirip
Urutan pengerjaan:
- Jahit titik nomor 1 dengan benang lalu arahkan jarum ke titik nomor 2. Setelah titik nomor 2 ditusuk tarik hingga titik nomor 1 menyatu dengan titik nomor 2. Setelah kedua titik tersebut menyatu kemudian dijahit mati.
- Jahit titik nomor 2 dengan benang lalu arahkan jarum ke titik nomor 3. Setelah titik nomor 3 ditusuk tarik hingga titik nomor 2 menyatu dengan titik nomor 3. Setelah kedua titik tersebut menyatu kemudian dijahit mati.
- Dari titik nomor 3, jarum lalu diarahkan ke titik nomor 1. Sama halnya dengan langkah sebelumnya setelah kedua titik ini menyatu, lalu dijahit mati. Demikian dilakukan seterusnya hingga mencapai panjang yang diinginkan.
- Urutan pengerjaan bisa disimpulkan seperti berikut.
Nomor 1 ke nomor 2 ditarik dan dijahit mati,
Nomor 2 ke nomor 3 ditarik dan dijahit mati.
Nomor 3 ke nomor 1 ditarik dan dijahit mati.
sumber:http://nhadi09.blogspot.com/2011/01/kerajinan-tekstil-teknik-smock.html
A. Cara membuat berbagai model smok
Untuk membuat smok, mula-mula dibuat pola kotak-kotak dengan ukuran 1 cm x 1 cm dengan jumlah tertentu sesuai dengan panjang dan lebar yang dikehendaki. Ukuran 1 cm x 1 cm bukanlah ukuran baku karena jika menginginkan model smok lebih besar bisa digunakan ukuran 1,5 cm x 1,5 cm, 2 cm x 2 cm, dan seterusnya. Bahkan, adakalanya yang lebih menyukai ukuran smok yang lebih kecil. Bila demikian, pola bujursangkar yang dibuat bisa berukuran 0,5 cm x 0,5 cm. Setelah pola dibuat di atas kain bagian belakang, selanjutnya bisa dipersiapkan jarum dan benang jahit. Benang yang digunakan sebaiknya berwarna senada dengan bahan agar terlihat lebih rapi. Apabila baik pola maupun jarum dan benangnya telah siap, sambil memperhatikan garis pola mulailah menjahit dari kiri ke kanan mengikuti petunjuk pola setiap model smok (perhatikan angka dan tanda panah pada kotak pola). Sebagai contoh, bila kita akan membuat smok model ombak besar . Jahit titik pada nomor 1 dengan benang lalu arahkan jarum ke titik nomor 2. Setelah nomor 2 ditusuk, tarik hingga titik nomor 1 menyatu dengan titik nomor 2 kemudian dijahit mati. Dari titik nomor 2 lanjutkan langkah jarum menuju ke titik nomor 3. Tarik kemudian hingga nomor 2 dan 3 menyatu. Setelah kedua titik menyatu kemudian dijahit mati. Sementara dari titik nomor 3 ke nomor 1 ditusuk biasa dan jangan sampai dijahit mati. Demikian seterusnya ke arah samping kanan hingga panjangnya sesuai dengan yang dikehendaki. Langkah yang sama bisa dilanjutkan pada baris ke dua, tiga, dan seterusnya (ke arah bawah). Berikut akan diuraikan mengenai cara pembuatan delapan model smok.
1. Model sirip
Model smok ini sengaja disebut dengan model sirip karena bila diperhatikan secara seksama, bentuknya menyerupai sirip ikan. Model sirip banyak diminati karena ukurannya yang kecil sehingga hasil smoknya tampak lebih indah dan rapi. Ukuran pola yang dibuat bisa berukuran 0,5 cm x 0,5 cm, 1 cm x 1 cm, atau tergantung selera. Cara membuatnya pun cukup mudah. Sambil melihat garis pola pada kain, ikuti saja tanda panah dan perhatikan titik-titik bernomor pada pola smok. Untuk mempermudah pembuatan smok model sirip ini, berikut akan diuraikan mengenai urutan pengerjaannya beserta pola model yang dilen-kapi dengan nomor dan tanda panah (arah jahitannya). Ukuran garis pola: lcm xlcm
Model Sirip
Urutan pengerjaan:
- Jahit titik nomor 1 dengan benang lalu arahkan jarum ke titik nomor 2. Setelah titik nomor 2 ditusuk tarik hingga titik nomor 1 menyatu dengan titik nomor 2. Setelah kedua titik tersebut menyatu kemudian dijahit mati.
- Jahit titik nomor 2 dengan benang lalu arahkan jarum ke titik nomor 3. Setelah titik nomor 3 ditusuk tarik hingga titik nomor 2 menyatu dengan titik nomor 3. Setelah kedua titik tersebut menyatu kemudian dijahit mati.
- Dari titik nomor 3, jarum lalu diarahkan ke titik nomor 1. Sama halnya dengan langkah sebelumnya setelah kedua titik ini menyatu, lalu dijahit mati. Demikian dilakukan seterusnya hingga mencapai panjang yang diinginkan.
- Urutan pengerjaan bisa disimpulkan seperti berikut.
Nomor 1 ke nomor 2 ditarik dan dijahit mati,
Nomor 2 ke nomor 3 ditarik dan dijahit mati.
Nomor 3 ke nomor 1 ditarik dan dijahit mati.
sumber:http://nhadi09.blogspot.com/2011/01/kerajinan-tekstil-teknik-smock.html
Kerajinan Tekstil Teknik Smock
Apakah Smok itu ?
Smok., sebenarnya bukanteknik baru dalam dunia jahit-menjahit. Pembuatan smok pada kain sudah cukup lama dikenal. Bahkan, berpuluh-puluh tahun lalu , yaitu pada akhir decade tahun enampuluhan, baju-baju bersmok sempat menjadi
mode, baik untuk baju anak-anak maupun dewasa.
Kini tidak ada salahnya apabila kain bersmok digunakan sebagai variasi dekoratif dalam pembuatan berbagai penutup peralatan rumah tangga.
A. Berkerut akibat teknik jahit
Istilah smok sebenarnya berasal dari bahasa inggris, yaitu smock yang berarti mengkerut. Sebelum memutuskan memilih model smok, ada baiknya dilakukan eksperimen untuk menentukan ukuran dan bentuk kotak pola yang akan dismok. Apabila kain yang akan digunakan memiliki motif atau corak yang beraturan dengan ukuran yang tetap, tentu saja pola sudah tidak dibutuhkan atau tidak perlu digambar lagi. Misalnya saja bahan bermotif bujur sangkar, segi empat, berbintik-bintik, dan sebagainya.
B. Kain Polos lebih baik
Kain yang digunakan sebaiknya menggunakan kain yang polos, walaupun kain yang bercorakpun juga bisa. kain bercorak yang dapat digunakan sebaiknya dipilih dengan pola titik-titik / kotak/kotak.
C. Jumlah bahan
Kerutan-kerutan kain (smok) ini mengakibatkan kain yang digunakan akan berkurang dari ukuran yang sebenarnya. Jadi, sebaiknya panjang dan lebar kain dilebihkan dari ukuran yang diinginkan dan setelah smok dibuat baru diukur kembali. Bila masih kurang bisa segera ditambahkan smok kembali. Jumlah kain yang diperlukan untuk membuat satu model smok juga tidak sama dengan model smok lainnya. Oleh karena itu, ada baiknya dilakukan uji coba terlebih dahulu sebelum mempraktekkannya terhadap obyek yang akan dibuat. Caranya, buatlah beberapa potongan kain dengan ukuran yang sama. Masing¬-masing model smok dibuat pada potongan kain tersebut. Hentikan pembuatannya setelah seluruh bagian kain penuh dengan smok. Selanjutnya ukurlah masing-masing potongan kain dengan model smok yang berbeda tersebut. Dengan demikian, bisa diperkirakan seberapa panjang smok yang dihasilkan. Bisa jadi, panjang smok yang diperoleh akan berbeda antara model yang satu dengan lainnya.
sumber;http://nhadi09.blogspot.com/2011/01/kerajinan-tekstil-teknik-smock.html
Tekstil Kerajinan
Yang dimaksud dengan tekstil kerajinan
adalah kain tekstil yang dibuat secara manual/tradisional baik proses
maupun penggunaan peralatannya, atau didalam proses pertenunannya
menggunakan alat tenun gedog (gendong/cag cag ataupun ATBM).
Yang termasuk kain teksil kerajiana antara lain :
- kain tenun ikat lusi dan pakan
- kain tenun songket
- kain tenun lurik
- stagen
- kain perca
kain tenun lurik
perajin tenun lurik ini banyak di jumpai di jawa tengah , kelaten dan jogjakarta
tenun ikat
perajin tenun ikat ini banyak tersebar di seluruh kepulauan indonesia diantaranya jawa tengah,bali, ntt, sumbawa, sumatra kalimantan, kep ambon dan sulawesi
kain
songket
perajin kain tenun songket ini banyak di jumpai di sumatara, bali, ntt, kalimantan dan kepulauan ambon
kain tekstil kerajinan ini proses
pembuatannya memang relatif cukup lama kecuali lurik,karena pengerjaanya
cukup rumit. Desain yang dipilih sangat erat dengan budaya setempat
oleh sebab itu produk kain tekstil kerajinan mempunyai nilai seni budaya
yang tinggi.perajin kain tenun songket ini banyak di jumpai di sumatara, bali, ntt, kalimantan dan kepulauan ambon
Produk kain tekstil kerajinan dewasa ini sangat di sukai baik oleh konsumen domestik maupun dari mancanegara.
sumber;http://indbatik.blogspot.com/2009/05/tekstil-kerajinan.html
Seni Kriya
Seni kriya adalah cabang seni yang menekankan pada ketrampilan tangan
yang tinggi dalam proses pengerjaannya. Seni kriya berasal dari kata
“Kr” (bhs Sanskerta) yang berarti ‘mengerjakan’, dari akar kata tersebut
kemudian menjadi karya, kriya dan kerja. Dalam arti khusus adalah
mengerjakan sesuatu untuk menghasilkan benda atau obyek yang bernilai
seni” (Prof. Dr. Timbul Haryono: 2002).
Dalam pergulatan mengenai asal muasal kriya Prof. Dr. Seodarso Sp dengan mengutif dari kamus, mengungkapkan “perkataan kriya memang belum lama dipakai dalam bahasa Indonesia; perkataan kriya itu berasal dari bahasa Sansekerta yang dalam kamus Wojowasito diberi arti; pekerjaan; perbuatan, dan dari kamus Winter diartikan sebagai ‘demel’ atau membuat”. (Prof. Dr. Soedarso Sp, dalam Asmudjo J. Irianto, 2000)
Sementara menurut Prof. Dr. I Made Bandem kata “kriya” dalam bahasa indonesia berarti pekerjaan (ketrampilan tangan). Di dalam bahasa Inggris disebut craft berarti energi atau kekuatan. Pada kenyataannya bahwa seni kriya sering dimaksudkan sebagai karya yang dihasilkan karena skill atau ketrampilan seseorang”. (Prof. Dr. I Made Bandem, 2002)
Dari tiga uraian ini dapat ditarik satu kata kunci yang dapat menjelaskan pengertian kriya adalah; kerja, pekerjaan, perbuatan, yang dalam hal ini bisa diartikan sebagai penciptaan karya seni yang didukung oleh ketrampilan (skill) yang tinggi.
Seperti telah disinggung diawal bahwa istilah kriya digali khasanah budaya Indonesia tepatnya dari budaya Jawa tinggi (budaya yang berkembang di dalam lingkup istana pada sistem kerajaan). Denis Lombard dalam bukunya Nusa Jawa: Silang budaya, menyatakan ‘istilah kriya yang diambil dari kryan menunjukkan pada hierarki strata pada masa kerajaan Majapahit, sebagai berikut; “Pertama-tama terdapat para mantri, atau pejabat tinggi serta para arya atau kaum bangsawan, lalu para kryan yang berstatus kesatriya dan para wali atau perwira, yang tampaknya juga merupakan semacam golongan bangsawan rendah’. (Denis Lombard dalam Prof. SP. Gustami, 2002)
Menyimak pendapat Prof. SP. Gustami yang menguraikan bahwa; seni kriya merupakan warisan seni budaya yang adi luhung, yang pada zaman kerajaan di Jawa mendapat tempat lebih tinggi dari kerajinan. Seni kriya dikonsumsi oleh kalangan bangsawan dan masyarakat elit sedangkan kerajinan didukung oleh masyarakat umum atau kawula alit, yakni masyarakat yang hidup di luar tembok keraton. Seni kriya dipandang sebagai seni yang unik dan berkualitas tinggi karena didukung oleh craftmanship yang tinggi, sedangkan kerajinan dipandang kasar dan terkesan tidak tuntas. Bedakan pembuatan keris dengan pisau baik proses, bahan, atau kemampuan pembuatnya.
Lebih lanjut Prof. SP. Gustami menjelaskan perbedaan antara kriya dan kerajinan dapat disimak pada keprofesiannya, kriya dimasa lalu yang berada dalam lingkungan istana untuk pembuatnya diberikan gelar Empu. Dalam perwujudannya sangat mementingkan nilai estetika dan kualitas skill. Sementara kerajinan yang tumbuh di luar lingkungan istana, si-pembuatnya disebut dengan Pandhe. Perwujudan benda-benda kerajinan hanya mengutamakan fungsi dan kegunaan yang diperuntukkan untuk mendukung kebutuhan praktis bagi masyarakat (rakyat). (Prof. SP. Gustami, 2002) Pengulangan dan minimnya pemikiran seni ataupun estetika adalah satu ciri penanda benda kerajinan.
Pemisahan yang berdasarkan strata atau kedudukan tersebut mencerminkan posisi dan eksistensi seni kriya di masa lalu. Seni kriya bukanlah karya yang dibuat dengan intensitas rajin semata, di dalamnya terkandung nilai keindahan (estetika) dan juga kualitas skill yang tinggi. Sedangkan kerajinan tumbuh atas desakan kebutuhan praktis dengan mempergunakan bahan yang tersedia dan berdasarkan pengalaman kerja yang diperoleh dari kehidupan sehari-hari.
Kembali ditegaskan oleh Prof. SP. Gustami: seni kriya adalah karya seni yang unik dan punya karakteristik di dalamnya terkandung muatan-muatan nilai estetik, simbolik, filosofis dan sekaligus fungsional oleh karena itu dalam perwujudannya didukung craftmenship yang tinggi, akibatnya kehadiran seni kriya termasuk dalam kelompok seni-seni adiluhung (Prof. SP.Gustami, 1992:71).
Uraian tadi menyiratkan bahwa kriya merupakan cabang seni yang memiliki muatan estetik, simbolik dan filosofis sehingga menghadirkan karya-karya yang adiluhung dan munomental sepanjang jaman. Praktek kriya pada masa lalu dibedakan dari kerajinan, kriya berada dalam lingkup istana (kerajaan) pembuatnya diberi gelar Empu. Sedangkan kerajinan yang berakar dari kata “rajin” berada di luar lingkungan istana, dilakoni oleh rakyat jelata dan pembuatnya disebut pengerajin atau pandhe.
Dari beberapa pendapat yang telah dibahas sebelumnya menjelaskan bahwa wujud awal seni kriya lebih ditujukan sebagai seni pakai (terapan). Praktek seni kriya pada awalnya bertujuan untuk membuat barang-barang fungsional, baik ditujukan untuk kepentingan keagamaan (religius) atau kebutuhan praktis dalam kehidupan manusia seperti; perkakas rumah tangga. Contohnya dapat kita saksikan pada dari artefak-artefak berupa kapak dan perkakas pada jaman batu serta peninggalan-peninggalan dari bahan perunggu pada jaman logam berupa; nekara, moko, candrasa, kapak, bejana, hingga perhiasan seperti; gelang, kalung, cincin. Benda-benda tersebut dipakai sebagai perhiasan, prosesi upacara ritual adat (suku) serta kegiatan ritual yang bersifat kepercayaan seperti; penghormatan terhadap arwah nenek moyang.
Masuknya agama Hindu dan Budha memberikan perubahan tidak saja dalam hal kepercayaan, tetapi juga pada sistem sosial dalam masyarakat. Struktur pemerintahan kerajaan dan sistem kasta menimbulkan tingkatan status sosial dalam masyarakat. Masuknya pengaruh Hindu–Budha di Indonesia terjadi akibat asimilasi serta adaptasi kebudayaan Hindu-Budha India yang dibawa oleh para pedagang dan pendeta Hindu-Budha dari India dengan kebudayaan prasejarah di Indonesia. Kedua sistem keagamaan ini mengalami akulturasi dengan kepercayaan yang sudah ada sebelumnya di Indonesia yaitu pengkultusan terhadap arwah nenek moyang, dan kepercayaan terhadap spirit yang ada di alam sekitar. Kemudian kerap tumpang tindih dan bahkan terpadu ke dalam pemujaan-pemujaan sinkretisme Hindu-Budha Indonesia. (Claire Holt diterjemahkan oleh RM. Soedarsono, 2000)
Tumbuh dan berkembangnya kebudayan Hindu-Budha di Indonesia kemudian melahirkan kesenian berupa seni ukir dengan beraneka ragam hias, dan patung perwujudan dewa-dewa. Dalam sistem sosial kemudian lahir sistem pemerintahan kerajaan yang berdasarkan kepada kepercayaan Hindu seperti kerajaan Sriwijaya di Sumatra, kerajaan Kutai di Kalimantan, kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat, Mataram Kuno Jawa Tengah. Hingga kerajaan Majapahit di Jawa Timur dengan maha patih Gajah Mada yang tersohor, yang kemudian membawa pengaruh Hindu ke Bali. Seni ukir tradisional masih diwarisi hingga saat ini.
Peran seni kriyapun menjadi semakin berkembang tidak saja sebagai komponen dalam hal kepercayaan/agama, namun juga menjadi konsumsi golongan elit bangsawan yaitu sebagai penanda status kebangsawanan. Kondisi tersebut menjadikan kriya sebagai seni yang bersifat elitis karena menduduki posisi terhormat pada masanya, berbeda dengan kerajinan yang cenderung tumbuh pada kalangan masyarakat biasa atau golongan rendah.
Akan tetapi keadaannya berbeda pada masa modern, dimana tingkatan sosial seperti pada masa kerajaan yang disebut “kasta” sudah tidak lagi eksis. Kalaupun ada tingkatan sosial kini tidak lagi berdasarkan “kasta” atau kebangsawanan yang dimiliki oleh seseorang, akan tetapi kemapanan ekonomi kini menjadi penanda bagi status seseorang. Artinya tarap ekonomi yang dimiliki seseorang dapat membedakan posisi mereka dari orang lain, secara sederhana kekuasan sekarang ditentukan oleh kemampuan ekonomi yang dimiliki seseorang. Dalam sistem masyarakat modern kondisinya telah berubah kaum elit yang dulunya ditempati oleh kaum bangsawan (ningrat), sekarang digantikan kalangan konglomerat (pemilik modal). Kondisi ini membawa dampak bagi pada posisi kriya, karena kini kriya mulai kehilangan struktur sosial yang menopang eksistensinya seperti pada masa lalu.
Situasi ini menjadikan kriya tidak lagi menjadi seni yang spesial karena posisi terhormatnya di masa lalu kini sudah terancam tidak eksis lagi, kriya kini menjadi sebuah artefak warisan masa lalu. Terlebih lagi dalam industri budaya seperti sekarang kedudukan kriya kini tidak lebih sebagai obyek pasar, yang diproduksi secara masal dan diperjualbelikan demi kepentingan ekonomi. Kriya kini mengalami desakralisasi dari posisi yang terhormat di masa lalu, yang adiluhung merupakan artefak yang tetap dihormati namun sekaligus juga direduksi dan diproduksi secara terus-menerus.
Kehadiran kriya pada jenjang pendidikan adalah sebuah upaya mengangkat kriya dari hanya sebagai artefak, untuk menjadikannya sebagai seni yang masih bisa eksis dan terhormat sekaligus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman. Inilah tugas berat insan kriya kini. Dalam perkembangan selanjutnya sejalan dengan perkembangan jaman, konsep kriyapun terus berkembang. Perubahan senantiasa menyertai setiap gerak laju perkembangan zaman, praktek seni kriya yang pada awalnya sarat dengan nilai fungsional, kini dalam prakteknya khususnya di akademis seni kriya mengalami pergeseran orientasi penciptaan. Kriya kini menjelma menjadi hanya pajangan semata dengan kata lain semata-mata seni untuk seni. Pergerakan ini kemudian melahirkan kategori-kategori dalam tubuh kriya, kategori tersebut antara lain kriya seni, dan desain kriya.
sumber:http://yogaparta.wordpress.com/2009/06/14/pengertian-seni-kriya/
Dalam pergulatan mengenai asal muasal kriya Prof. Dr. Seodarso Sp dengan mengutif dari kamus, mengungkapkan “perkataan kriya memang belum lama dipakai dalam bahasa Indonesia; perkataan kriya itu berasal dari bahasa Sansekerta yang dalam kamus Wojowasito diberi arti; pekerjaan; perbuatan, dan dari kamus Winter diartikan sebagai ‘demel’ atau membuat”. (Prof. Dr. Soedarso Sp, dalam Asmudjo J. Irianto, 2000)
Sementara menurut Prof. Dr. I Made Bandem kata “kriya” dalam bahasa indonesia berarti pekerjaan (ketrampilan tangan). Di dalam bahasa Inggris disebut craft berarti energi atau kekuatan. Pada kenyataannya bahwa seni kriya sering dimaksudkan sebagai karya yang dihasilkan karena skill atau ketrampilan seseorang”. (Prof. Dr. I Made Bandem, 2002)
Dari tiga uraian ini dapat ditarik satu kata kunci yang dapat menjelaskan pengertian kriya adalah; kerja, pekerjaan, perbuatan, yang dalam hal ini bisa diartikan sebagai penciptaan karya seni yang didukung oleh ketrampilan (skill) yang tinggi.
Seperti telah disinggung diawal bahwa istilah kriya digali khasanah budaya Indonesia tepatnya dari budaya Jawa tinggi (budaya yang berkembang di dalam lingkup istana pada sistem kerajaan). Denis Lombard dalam bukunya Nusa Jawa: Silang budaya, menyatakan ‘istilah kriya yang diambil dari kryan menunjukkan pada hierarki strata pada masa kerajaan Majapahit, sebagai berikut; “Pertama-tama terdapat para mantri, atau pejabat tinggi serta para arya atau kaum bangsawan, lalu para kryan yang berstatus kesatriya dan para wali atau perwira, yang tampaknya juga merupakan semacam golongan bangsawan rendah’. (Denis Lombard dalam Prof. SP. Gustami, 2002)
Menyimak pendapat Prof. SP. Gustami yang menguraikan bahwa; seni kriya merupakan warisan seni budaya yang adi luhung, yang pada zaman kerajaan di Jawa mendapat tempat lebih tinggi dari kerajinan. Seni kriya dikonsumsi oleh kalangan bangsawan dan masyarakat elit sedangkan kerajinan didukung oleh masyarakat umum atau kawula alit, yakni masyarakat yang hidup di luar tembok keraton. Seni kriya dipandang sebagai seni yang unik dan berkualitas tinggi karena didukung oleh craftmanship yang tinggi, sedangkan kerajinan dipandang kasar dan terkesan tidak tuntas. Bedakan pembuatan keris dengan pisau baik proses, bahan, atau kemampuan pembuatnya.
Lebih lanjut Prof. SP. Gustami menjelaskan perbedaan antara kriya dan kerajinan dapat disimak pada keprofesiannya, kriya dimasa lalu yang berada dalam lingkungan istana untuk pembuatnya diberikan gelar Empu. Dalam perwujudannya sangat mementingkan nilai estetika dan kualitas skill. Sementara kerajinan yang tumbuh di luar lingkungan istana, si-pembuatnya disebut dengan Pandhe. Perwujudan benda-benda kerajinan hanya mengutamakan fungsi dan kegunaan yang diperuntukkan untuk mendukung kebutuhan praktis bagi masyarakat (rakyat). (Prof. SP. Gustami, 2002) Pengulangan dan minimnya pemikiran seni ataupun estetika adalah satu ciri penanda benda kerajinan.
Pemisahan yang berdasarkan strata atau kedudukan tersebut mencerminkan posisi dan eksistensi seni kriya di masa lalu. Seni kriya bukanlah karya yang dibuat dengan intensitas rajin semata, di dalamnya terkandung nilai keindahan (estetika) dan juga kualitas skill yang tinggi. Sedangkan kerajinan tumbuh atas desakan kebutuhan praktis dengan mempergunakan bahan yang tersedia dan berdasarkan pengalaman kerja yang diperoleh dari kehidupan sehari-hari.
Kembali ditegaskan oleh Prof. SP. Gustami: seni kriya adalah karya seni yang unik dan punya karakteristik di dalamnya terkandung muatan-muatan nilai estetik, simbolik, filosofis dan sekaligus fungsional oleh karena itu dalam perwujudannya didukung craftmenship yang tinggi, akibatnya kehadiran seni kriya termasuk dalam kelompok seni-seni adiluhung (Prof. SP.Gustami, 1992:71).
Uraian tadi menyiratkan bahwa kriya merupakan cabang seni yang memiliki muatan estetik, simbolik dan filosofis sehingga menghadirkan karya-karya yang adiluhung dan munomental sepanjang jaman. Praktek kriya pada masa lalu dibedakan dari kerajinan, kriya berada dalam lingkup istana (kerajaan) pembuatnya diberi gelar Empu. Sedangkan kerajinan yang berakar dari kata “rajin” berada di luar lingkungan istana, dilakoni oleh rakyat jelata dan pembuatnya disebut pengerajin atau pandhe.
Dari beberapa pendapat yang telah dibahas sebelumnya menjelaskan bahwa wujud awal seni kriya lebih ditujukan sebagai seni pakai (terapan). Praktek seni kriya pada awalnya bertujuan untuk membuat barang-barang fungsional, baik ditujukan untuk kepentingan keagamaan (religius) atau kebutuhan praktis dalam kehidupan manusia seperti; perkakas rumah tangga. Contohnya dapat kita saksikan pada dari artefak-artefak berupa kapak dan perkakas pada jaman batu serta peninggalan-peninggalan dari bahan perunggu pada jaman logam berupa; nekara, moko, candrasa, kapak, bejana, hingga perhiasan seperti; gelang, kalung, cincin. Benda-benda tersebut dipakai sebagai perhiasan, prosesi upacara ritual adat (suku) serta kegiatan ritual yang bersifat kepercayaan seperti; penghormatan terhadap arwah nenek moyang.
Masuknya agama Hindu dan Budha memberikan perubahan tidak saja dalam hal kepercayaan, tetapi juga pada sistem sosial dalam masyarakat. Struktur pemerintahan kerajaan dan sistem kasta menimbulkan tingkatan status sosial dalam masyarakat. Masuknya pengaruh Hindu–Budha di Indonesia terjadi akibat asimilasi serta adaptasi kebudayaan Hindu-Budha India yang dibawa oleh para pedagang dan pendeta Hindu-Budha dari India dengan kebudayaan prasejarah di Indonesia. Kedua sistem keagamaan ini mengalami akulturasi dengan kepercayaan yang sudah ada sebelumnya di Indonesia yaitu pengkultusan terhadap arwah nenek moyang, dan kepercayaan terhadap spirit yang ada di alam sekitar. Kemudian kerap tumpang tindih dan bahkan terpadu ke dalam pemujaan-pemujaan sinkretisme Hindu-Budha Indonesia. (Claire Holt diterjemahkan oleh RM. Soedarsono, 2000)
Tumbuh dan berkembangnya kebudayan Hindu-Budha di Indonesia kemudian melahirkan kesenian berupa seni ukir dengan beraneka ragam hias, dan patung perwujudan dewa-dewa. Dalam sistem sosial kemudian lahir sistem pemerintahan kerajaan yang berdasarkan kepada kepercayaan Hindu seperti kerajaan Sriwijaya di Sumatra, kerajaan Kutai di Kalimantan, kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat, Mataram Kuno Jawa Tengah. Hingga kerajaan Majapahit di Jawa Timur dengan maha patih Gajah Mada yang tersohor, yang kemudian membawa pengaruh Hindu ke Bali. Seni ukir tradisional masih diwarisi hingga saat ini.
Peran seni kriyapun menjadi semakin berkembang tidak saja sebagai komponen dalam hal kepercayaan/agama, namun juga menjadi konsumsi golongan elit bangsawan yaitu sebagai penanda status kebangsawanan. Kondisi tersebut menjadikan kriya sebagai seni yang bersifat elitis karena menduduki posisi terhormat pada masanya, berbeda dengan kerajinan yang cenderung tumbuh pada kalangan masyarakat biasa atau golongan rendah.
Akan tetapi keadaannya berbeda pada masa modern, dimana tingkatan sosial seperti pada masa kerajaan yang disebut “kasta” sudah tidak lagi eksis. Kalaupun ada tingkatan sosial kini tidak lagi berdasarkan “kasta” atau kebangsawanan yang dimiliki oleh seseorang, akan tetapi kemapanan ekonomi kini menjadi penanda bagi status seseorang. Artinya tarap ekonomi yang dimiliki seseorang dapat membedakan posisi mereka dari orang lain, secara sederhana kekuasan sekarang ditentukan oleh kemampuan ekonomi yang dimiliki seseorang. Dalam sistem masyarakat modern kondisinya telah berubah kaum elit yang dulunya ditempati oleh kaum bangsawan (ningrat), sekarang digantikan kalangan konglomerat (pemilik modal). Kondisi ini membawa dampak bagi pada posisi kriya, karena kini kriya mulai kehilangan struktur sosial yang menopang eksistensinya seperti pada masa lalu.
Situasi ini menjadikan kriya tidak lagi menjadi seni yang spesial karena posisi terhormatnya di masa lalu kini sudah terancam tidak eksis lagi, kriya kini menjadi sebuah artefak warisan masa lalu. Terlebih lagi dalam industri budaya seperti sekarang kedudukan kriya kini tidak lebih sebagai obyek pasar, yang diproduksi secara masal dan diperjualbelikan demi kepentingan ekonomi. Kriya kini mengalami desakralisasi dari posisi yang terhormat di masa lalu, yang adiluhung merupakan artefak yang tetap dihormati namun sekaligus juga direduksi dan diproduksi secara terus-menerus.
Kehadiran kriya pada jenjang pendidikan adalah sebuah upaya mengangkat kriya dari hanya sebagai artefak, untuk menjadikannya sebagai seni yang masih bisa eksis dan terhormat sekaligus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman. Inilah tugas berat insan kriya kini. Dalam perkembangan selanjutnya sejalan dengan perkembangan jaman, konsep kriyapun terus berkembang. Perubahan senantiasa menyertai setiap gerak laju perkembangan zaman, praktek seni kriya yang pada awalnya sarat dengan nilai fungsional, kini dalam prakteknya khususnya di akademis seni kriya mengalami pergeseran orientasi penciptaan. Kriya kini menjelma menjadi hanya pajangan semata dengan kata lain semata-mata seni untuk seni. Pergerakan ini kemudian melahirkan kategori-kategori dalam tubuh kriya, kategori tersebut antara lain kriya seni, dan desain kriya.
sumber:http://yogaparta.wordpress.com/2009/06/14/pengertian-seni-kriya/
Mengenal Batik dan Tekstil Bermotif Batik
Batik print atau tekstil bermotif batik tidak tergolong kepada kain batik karena sebagaimana kesepakatan dalam Konvensi Batik Internasional di Yogyakarta pada tahun 1997, batik dapat didefinisikan sebagai proses penulisan gambar atau ragam hias pada media apapun dengan menggunakan lilin batik (wax) sebagai alat perintang warna.Hal ini berbeda dengan tekstil bermotif batik yang dalam proses produksinya tidak menggunakan malam/ lilin batik sebagai perintang warna tetapi rata-rata dengan teknik sablon/print.
Menggunakan kain batik maupun tekstil bermotif batik dengan tujuan kebanggaan akan batik Indonesia bukanlah suatu masalah karena hal ini terkait pula dengan daya beli konsumen menurut kemampuan ekonominya, namun yang menjadi masalah ialah ketika konsumen tertipu dengan produk yang dibeli ternyata bukanlah kain batik melainkan tekstil bermotif batik karena ketidaktahuan tentang cara membedakan keduanya. Berkenaan dengan perlindungan konsumen dapat dilakukan suatu upaya perlindungan hukum melalui pencantuman label “Batikmark”. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor: 74/M-IND/PER/9/2007 mengenai Batikmark “batik INDONESIA” tentang Penggunaan Batikmark “batik INDONESIA” pada Batik Buatan Indonesia. Batikmark “batik INDONESIA” merupakan suatu simbol atau tanda yang menunjukkan identitas batik buatan Indonesia yang terdiri atas tiga jenis yaitu batik tulis, batik cap serta batik kombinasi tulis dan cap dengan nomor dan tanggal pendaftaran Hak Cipta 034100, 5 Juni 2007. Tujuan penggunaan label “Batikmark” ini selain sebagai bentuk perlindungan hukum agar mempermudah konsumen dalam mengenali jenis batik yang dibelinya, juga label ini bermanfaat pula bagi produsen sebagai sertifikasi untuk menunjukkan jaminan kualitas batik hasil produksinya sehingga dapat meningkatkan kepercayaan konsumen baik dalam maupun luar negeri. Tetapi kendala yang mengemuka saat ini ialah dalam memperoleh sertifikasi tersebut dibutuhkan biaya dan waktu yang cukup menyita mulai dari tahap pendaftaran, pengujian kualitas batik hingga perolehan sertifikat sehingga banyak produsen batik yang belum dapat memperoleh sertifikasi “Batikmark” ini.
Memilih untuk menggunakan kain batik maupun tekstil bermotif batik dengan maksud untuk menunjukkan cinta terhadap batik Indonesia merupakan bentuk penyampaian yang sama-sama patut diapresiasi, yang terpenting ialah bentuk kejujuran baik dari pihak produsen atas produksi batik sebagai bentuk perlindungan konsumen maupun pihak konsumen lebih diperlukan pula pengetahuan untuk lebih mengenal produk yang dibeli sehingga tujuan menjadikan batik tetap lestari akan tercapai tanpa merugikan satu sama lain.
sumber;http://balareabatikjabar.org/journal/batik-dan-tekstil-bermotif-batik
Tekstil Bermotif Batik (Sablon atau Print)
1.Pada
umumnya bahan dasar yang digunakan adalah terbuat dari serat polyester
walaupun ada juga yang terbuat dari kain katun, kain rayon, kain rami
dan kain sutra seperti halnya pada kain batik.
2.Gambar
padakain tekstil bermotif batik (sablon) biasanya tidak akan tembus
hingga pada bagian belakang kain.
3.Kain
sablon tidak tercium bau lilin dan hampir tidak ada aroma apapun.
4.Detail
gambar pada kain sablon relatif lebih halus dan lebih lengkap bilamana
dibandingkan dengan kain batik. Pada kain tekstil bermotif batik
(sablon) detail gambarnya lebih bisa mencapai ukuran yang kecil-kecil
dengan warna-warna yang lebih gelap bisa didapatkan, berbeda dengan kain
batik. Hal ini dikarenakan kemampuan proses sablon semakin bagus dan
teknologinya semakin maju. Proses sablon sendiri banyak macamnya
diantaranya adalah dengan teknik sablon tangan (hand printing),
menggunakan plat dan sistem rotary yaitu dengan teknik pencetakan
berputar menggunakan silinder. Tiap teknik mempunyai kelebihan dan
kekurangan masing-masing yang berhubungan dengan ukuran gambar dan
kualitas detail motifnya.
5.Harga
kain sablon relatif lebih murah, serta jumlah produksinya biasanya
lebih banyak hal ini ditempuh agar biaya untuk pembuatan film/plat atau
pembuatan screen sablon bisa tertutupi (break event point),
karena biaya pembuatan film cukup mahal, sehingga bila diproduksinya
sedikit maka dengan sendirinya harga kain akan sama mahalnya dengan kain
batik.
6.Bentuk
ragam hias atau ornamen pada lembaran kain sablon sudah pasti akan
banyak kesamaannya dan tepat antara motif yang satu dengan yang lainnya.
7.Kain
sablon bisa kita temui dalam bentuk gulungan. Biasanya dalam satu
gulung bisa mencapai panjangnya lebih dari 100 meter.
Pada akhirnya, baik yang mengunakan busana
kain batik maupun yang menggunakan busana sablon atau tekstil bermotif
batik yang pasti kita semua cinta batik Indonesia. Dan tidak berapa lama
lagi pada tahun ini bangsa Indonesia akan mendapatkan award dari UNESCO
bahwa batik adalah budaya bangsa Indonesia setelah diakuinya keris dan
wayang kulit yang telah mendapatkan penghargaan dari UNESCO terlebih
dulu.
A.Contoh Kain Batik
B.Contoh Tekstil Bermotif Batik
sumber:http://netsains.net/2008/08/kain-batik-dan-tekstil-bermotif-batik/
PERBEDAAN BATIK DAN TEKSTIL
Untuk mengetahui perbedaan antara batik dan
tekstil bermotif batik tersebut ada tips yang bisa membantu cara memilih
kain batik sbb:
- Kain Batik
1.Pada
umumnya bahan dasar yang digunakan adalah terbuat dari serat alam atau
serat selulosa atau serat yang dihasilkan dari binatang. Jenis kain
batik yang digunakan secara umum diantaranya adalah kain katun, kain
rayon, kain rami dan kain sutra. Proses batik tidak bisa menggunakan
jenis kain yang terbuat dari bahan polyester.
2.Gambar
pada kain batik biasanya sebagian akan tembus hingga pada bagian
belakang kain. Terlebih lagi untuk jenis kain batik tulis halus, maka
pengerjaan pelilinannya akan dilakukan pada kedua muka kain. Khusus pada
kain batik yang teknik produksinya dengan mengguna- kan teknik sablon
lilin dingin gambarnya hampir tidak tembus sama sekali, berbeda dengan
yang menggunakan teknik lilin panas maka hasilnya akan tembus hingga ke
belakang kain tersebut.
3.Bau
kain batik akan tercium aroma lilin. Untuk mengetahui aroma lilin ini,
biasanya oleh konsumen kain batik tersebut didekatkan pada indera
penciumannya. Bahkan ada yang pernah mengatakan bahwa kalau mencium
aroma kain batik bisa mengingatkan pada kasih sayang orang tuanya yang
dulu menggendongnya ketika bayi dengan kain selendang batik. Ada pula
yang mengatakan kalau sudah mencium aroma kain-kain batik bisa
menghilangkan stress.
4.Detail
gambar pada kain batik relatif lebih sederhana bilamana dibandingkan
dengan tekstil bermotif batik. Khusus untuk detail gambar dengan ukuran
yang kecil-kecil dengan warna lebih gelap akan sangat susah didapatkan
pada kain batik. Hal ini dikarenakan keterbatasan pada proses pengerjaan
pelilinannya.
5.Harga
kain batik relatif lebih mahal dan jumlahnya terbatas.
6.Bentuk
ragam hias atau ornamen pada sehelai kain batik terkadang tidak ada
kesamaan yang tepat antara motif yang satu dengan yang lainnya,
sekalipun secara proses kain batik tersebut dibuat dengan teknik batik
cap. Apalagi bentuk motif yang ada pada satu lembar kain batik yang satu
dengan yang lainnya kemungkinan besar pasti ada perbedaan.
7.Kain
batik jarang kita temui dalam bentuk kemasan gulungan. Biasanya kain
batik dikemas dalam bentuk lipatan atau dibungkus satu persatu atau set.
sumber:http://netsains.net/2008/08/kain-batik-dan-tekstil-bermotif-batik/
Kain Batik dan Tekstil Bermotif Batik
Batik merupakan warisan budaya Indonesia,
pada umumnya masyarakat Indonesia sudah paham tentang hal tersebut,
namun cara membedakan antara batik dan tekstil bermotif batik secara
umum masyarakat Indonesia atau para konsumen batik masih banyak yang
belum paham. Seringkali konsumen bangga dengan batik yang dikenakannya,
dikarenakan beli di toko batik yang sudah cukup terkenal, harganya
lumayan mahal, tapi sebenarnya bukan kain batik yang didapatkannya namun
kain tekstil bermotif batik atau lebih dikenal dengan kain sablon
(print).
Definisi batik secara umum yang
telah disepakati pada saat konvensi batik Internaional di Yogyakarta
pada tahun 1997 adalah proses penulisan gambar atau ragam hias pada
media apapun denganmenggunakan lilin batik (wax)sebagai alat perintang
warna. Bilamana prosesnya tanpa menggunakan lilin batik maka tidak bisa
dinamakan batik, dan dikatakan tekstil bermotif batik.
Bilamana dilihat dari sisi fungsi dan
kegunaan, kain batik ataupun tekstil bermotif batik tidak ada bedanya,
begitupula bila dilihat dari sisi ekonomi keduanya adalah bagian dari
bisnis yang sangat menjanjikan dan dapat mendatangkan keuntungan bagi
seluruh masyarakat. Harga batik yang asli relatif lebih mahal maka
dengan sendirinya bagisebagian masyarakat yang tingkat ekonominya rendah
tidak akan terjangkau untuk membeli kain batik. Maka dengan banyak
beredarnya kain tekstil bermotif batik, untuk masyarakatkelas menengah
ke bawah akhirnya bisa mengenakan busana bermotif batik.
Masalahnya adalah bagi konsumen yang
telah membayar dengan harga yang cukup mahal tapi yang didapatnya bukan
kain batik asli, namun sekedar tekstil bermotif batik.
Pemerintah melalui departemen perindustrian
telah mengusulkan “Batik Mark” yaitu berupa tanda atau label yang
membedakan kualitas batik berdasarkan proses pembuatannya. Tanda
tersebut meliputi kualitas batik tulis, batik cap dan batik kombinasi
tulis dan cap. Tujuan semula adalah agar konsumen tidak akan merasa
tertipu dengan melihat tanda yang ditempelkan pada kain batik tersebut,
serta keuntungan bagi produsen atau penjual bisa untuk meningkatkan
harga jualnya sesuai dengan kualitas yang ditawarkan. Namun hingga saat
ini oleh produsen dan pedagang kain batik belum bisa melaksanakan
penandaan Batik Mark tersebut dikarenakan untuk proses mendapatkan label
tersebut perlu biaya dan waktu untuk mengurusnya.
sumber;http://netsains.net/2008/08/kain-batik-dan-tekstil-bermotif-batik/
bahan serat untuk tekstil
Polyester
Polyester
ditemukan pertama kali pada tahun 1953 oleh E.I du Pont de Nemours di USA .
Polyester terbuat dari butiran plastik (chips) dan mengalami suatu
proses kimiawi yang panjang, dari pembuatan benang sampai menjadi bahan
kain.
Ciri dan
karakteristik polyester, antara lain adalah :
ØBahan terasa panas dibadan
ØTidak menyerap keringat Apabila kulit anda sensitive dan
bermasalah, dianjurkan supaya tidak memakai bahan pure polyester karena
akan memperparah kondisi kulit.
Ø Noda minyak dan noda makanan susah
dihilangkan dari pakaian
Ø Tahan direndam dalam air lebih dari 3 jam
Bahan polyester
memiliki daya tahan yang kuat. Kelemahannya adalah karena sifat bahan
terasa panas dibadan.
Untuk menghindari
sifatnya yang panas, para produsen tekstil melakukan pencampuran dengan
viscose, dengan cotton atau dengan linen dan dengan bahan lainnya.
Linen
Linen merupakan
bahan kain tertua didunia dan sudah dipakai sejak Zaman Batu (Stone
Age). Bahan dasarnya terbuat dari sejenis pohon rami
Ciri dan
karakteristik Linen, antara lain adalah :
Ø Bahannya kaku dan dingin
Ø Permukaan kain agak kasar
Ø Menyerap keringat
Ø Kekuatannya empat kali lebih kuat dari
katun
Ø Rentan terhadap jamur
Ø Kain akan rusak apabila direndam lebih
dari 1 jam
Ø Tahan terhadap panas sampai 450 0 F
Bahannya yang
kaku dan dingin, maka linen sangat pas untuk produk – produk casual wear
dan dresses
Sutera
Sutera ditemukan
pada 2640 B.C (sebelum tahun masehi) di China. Bahan dasarnya adalah
kepompong. Secara lengkap, asal usul dan proses pemeliharaan dan
pembuatan sutera adalah sebagai berikut :
Satu sore Permaisuri
His Ling Shih dari kerajaan China asik menikmati
secangkir the panas dibawah keteduhan pohon mulberry. Putri yang hidup
2640 sebelum masehi ini dikejutkan dengan jatuhnya kepompong ulat sutera
ke dalam cangkir teh.
Beberapa
detik kemudian kekagetannya berubah menjadi kekaguman melihat kehalusan
serat yang terurai dari kepompong tersebut. Permaisuripun meminta para
dayang mengumpulkan lebih banyak kepompong yang kemudian diternakkan dan
ditenun secara rahasia di balik tembok istana hingga 3000 tahun
berikutnya.
Walaupun
hukuman mati dikenakan pada mereka yang membawa telur ulat sutera
keluar China ,
pada abad enam Masehi dua orang biksu berhasil menyelundupkan bibit
pohon mulberry beserta telur ulat sutera. Tak pelak beberapa negara lain
mulai memproduksi dan memperjualbelikan kain sutera. Antara lain India ,
Jepang dan Perancis.
Mengingat
sejarahnya, setiap kali bicara soal sutera kita pasti teringat pada
negeri China .
Tak heran jika dikalangan komunitas mode Paris , bahkan dunia, sutera dikenal
dengan sebutan Crepe de Chine, Crepe dari Cina.
Kini
sutera dapat diproduksi di seluruh dunia. Hanya saja kualitas suteranya
berbeda – beda tergantung jenis ulat yang memproduksi kepompong. Ulat
sutera yang diternakkan (Cultivated) di sericulture (peternakan ulat
sutera) diberi makan daun mulberry yang dipercaya membantu pembentukan
liur ulat yang bening. Dengan begitu kepompongnya menghasilkan serat
yang sangat tipis dan mengkilat.
Dari
sebuah kepompong dapat dihasilkan serat sutera yang panjangnya mencapai
ribuan meter. Warna asli serat sutera pun beragam, seperti putih,
cream, kuning dan kecoklatan. Cultivated silk menghasilkan kain sutera
yang halus dan mengkilat permukaannya seperti brocade, chiffon, habutae,
tafetta dan organdi.
Jenis
ulat lain adalah ulat sutera liar atau tussah yang hidup di hutan.
Karena ulat jenis ini memakan daun pohon oak dan daun – daun liar yang
terdapat dihutan, serat yang dihasilkan kepompong ini tidak sehalus dan
semengkilat cultivated silk. Warnanya pun cenderung kecoklatan. Kain
sutera yang dihasilkan tussah silk pun memiliki tekstur yang sedikit
kasar dan berserat (slubby), seperti shantung dan Dupont.
Dalam
4 – 6 hari ulat sutera (Bombyxmori) dapat bertelur lebih dari 500 telur
lalu mati. Berat 100 telur hanya 1 gram. Satu ons telur berasal dari
sekitar 30.000 ulat sutera yang mengkonsumsi 1 ton daun mulberry dan
menghasilkan sekitar 6 kg serat sutera. Karena produksi tussah tidak
dapat diprediksi, kebanyakan produser sutera masih mengandalkan
cultivated silk.
Dua
hal yang harus diperhatikan untuk mendapatkan sutera berkualitas, yaitu
mencegah penetasan larva dan menjaga ketersediaan jumlah daun mulberry
yang dikonsumsi ulat sutera. Sebagai gambaran dibawah ini diceritakan
secara singkat proses produksi serat sutera :
1. Telur disimpan pada suhu 65 0F
dan secara berangsur dinaikkan sampai 77 0F. Setelah
menetas, ulat diberi irisan daun mulberry segar setiap setengah jam
dengan tetap menjaga temperaturnya. Ribuan ulat sutera ini diletakkan
saling menumpuk dalam satu tempat. Dalam waktu satu bulan berat mereka
akan berlipat 10.000 kali. Mereka juga berganti kulit dan warna.
2. bayi – bai ulat terus diberi makan
hingga mereka siap menjadi kepompong. Selama masa pertumbuhan mereka
harus dijauhkan dari suara bising, bau yang mnyengat seperti ikan dan
bahkan bau keringat. Saat memiliki kepompong, ulat sutera mengeluarkan
liur seperti jelly yang membuat serat – serat sutera menempel satu sama
lain. Ulat sutera menghabiskan waktu 3 – 4 hari untuk menggulung diri
sampai berbentuk bola putih.
3. setelah 8 – 9 hari berada ditempat
yang hangat, kepompong di kukus atau di panggang agar ulatnya mati. Lalu
kepompong dicelupkan ke dalam air panas guna memisahkan serat – serat
yang menyatu. Selanjutnya serat dipintal menjadi benang yang siap
diproses menjadi benang tenun atau sulam.
Sutera
dengan segala kehalusannya membutuhkan cara perawatan khusus untuk
menjaga keawetan kain atau busana.
Dibawah
ini ada beberapa tips bagaimana seharusnya kita merawat sutera :
1. Segera cuci sutera yang terkena
keringat, sebab bila dibiarkan, asam dan garam dalam keringat akan
membuat sutera menjadi kuning.
2. hindari menjemur sutera dibawah
sinar matahari langsung. Cukup diangin – anginkan ditempat teduh untuk
mengeringkannya sehabis dicuci
3. sutera hanya bisa dicuci dengan
tangan. Jangan menggunakan mesin cuci karena akan merusak kehalusan
seratnya.
4. gunakan jasa dry cleaner bila anda
tidak mempunyai waktu untuk mencuci. Perchlorothelyne yang digunakan
pada proses dry cleaning cukup aman bagi sutera
5. balik busana saat menyeterika
sutera. Gunakan temperatur rendah. Bila perlu alasi bagian yang
diseterika dengan kain lain.
Sutera banyak
disukai karena jenis bahannya yang lembut hingga diidentikkan dengan
wanita dan cinta.
Ciri dan
karakteristik Sutera antara lain adalah :
Ø Sangat lembut dikulit, glamours dan
bahannya jatuh (flowing)
Ø Menyerap keringat
Ø Untuk perawatan, baju harus di dry
cleaning supaya kualitas warna dan kekuatan bahan bertahan lama
Ø Sangat rentan terhadap ngengat
Ø Dalam proses pencucian tidak menggunakan
kaporit
http://abikover.multiply.com/journal/item/10?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
Jumat, 27 April 2012
Sejarah Industri Tekstil Majalaya
SEJARAH tidak berarti apa pun jika hanya dianggap sebagai cerita yang
telah lalu dan tanpa melihat relevansi dengan periode berikutnya.
Mengutip sejarawan Robert B. Cribb, ”Sejarah adalah suatu proses yang
berkesinambungan. Sejarah perlu dikaji sebagai dalam kerangka yang
koheren dari suatu periode ke periode berikutnya.” Oleh karena itu,
sejarah tidak hanya menggambarkan penggalan waktu tertentu saja, tapi
lebih bisa digunakan sebagai alat untuk mengkaji periode selanjutnya.
Di tengah gembar-gembor rekonstruksi sejarah nasional yang selama ini banyak dilencengkan untuk mendukung hegemoni kekuasaan, muncul juga keinginan untuk membuat sejarah lokal. Salah satu contoh adalah munculnya keinginan dari segelintir warga Majalaya untuk membuat sejarah lokal. Diharapkan bahwa sejarah lokal tersebut tidak hanya dibuat sebagai sebuah dokumentasi yang bisa diakses oleh generasi berikutnya untuk mengetahui sejarah leluhur mereka. Akan tetapi, sejarah lokal Majalaya juga bisa dijadikan bahan referensi proses perbaikan kondisi Majalaya saat ini.
Cerita sejarah lokal Majalaya tidak bisa dilepaskan dari kegiatan ekonomi dominan setempat, yaitu industri tekstil. Perkenalan masyakarat setempat dengan kegiatan tekstil telah terjadi sejak lama dan masih berlangsung hingga saat ini. Namun dalam perjalanannya telah terjadi banyak pergeseran yang mengakibatkan kontrol terhadap industri tekstil sudah tidak berada di tangan mereka. Posisi usaha mereka sudah banyak yang tidak independen dan menjadi maklun perusahaan besar maupun menengah. Perubahan-perubahan tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai kebijakan ekonomi dan politik tingkat makro. Oleh karena itu, sejarah industri tekstil Majalaya dari sisi pengusaha dan buruh serta berbagai kebijakannya menjadi penting untuk ditelusuri sebagai sebuah proses pembelajaran dan refleksi.
Sejarah industri tekstil Majalaya
Majalaya memiliki sejarah industri tekstil yang cukup panjang. Tahun 1930-an merupakan tonggak awal perkembangan industri tekstil Majalaya yang dipelopori oleh beberapa pengusaha tekstil lokal seperti Ondjo Argadinata, H. Abdulgani, dsb. Masa-masa tersebut juga diwarnai dengan mulai bermunculannya industri tenun rumahan yang masih menggunakan tustel (alat tenun bukan mesin). Penyebaran kegiatan menenun berlangsung cukup cepat karena (1) tingginya persentase rumah tangga yang tidak memiliki lahan dan melakukan pertanian marginal (2) kegiatan menenun merupakan tradisi lama, namun masih menjadi tipikal keterampilan perempuan kelas menengah (Hardjono, 1990 dan Pleyte, 1912 dalam Keppy, 2001). Selain itu keterlibatan buruh-buruh di pabrik-pabrik tenun pada awal tahun 1930-an memberi bekal mereka untuk membuka usaha tenun sendiri.
Saat pasar semakin terbuka mereka dengan mudah mengambil kesempatan tersebut karena modal yang diperlukan untuk membeli alat tenun masih murah dan bahan baku bisa diperoleh dari para pengusaha seperti putting out system. Pada masa-masa berikutnya industri tenun rumahan semakin menjamur di mana-mana. Hampir setiap penduduk Majalaya memiliki peralatan tenun dan membuka usaha tenun sendiri. Oleh penduduk yang telah berusia lanjut masa tersebut dikenang sebagai masa-masa keemasan Majalaya.
Industri tenun Majalaya mencapai puncaknya pada awal tahun 1960-an dan mampu memproduksi 40% dari total produksi kain di Indonesia. Akhir tahun 1964 Majalaya menguasai 25% dari 12.882 ATM (Alat Tenun Mesin) di Jawa Barat. Hampir seluruhnya terkonsentrasi di Desa Majalaya dan Padasuka (saat ini dimekarkan menjadi 3 desa, yaitu Desa Sukamaju, Padamulya, dan Sukamukti) (Palmer, 1972 dan Matsuo, 1970). Namun, hal ini merupakan kemajuan secara umum karena jika ditelusuri pada saat yang sama para pengusaha tenun lokal sudah mulai kehilangan pengaruhnya dan untuk mempertahankan kelangsungan produksi banyak perusahaan lokal yang beralih ke sistem maklun.
Industri tenun rumahan juga sudah mulai tergeser dan bangkrut karena tidak mampu bersaing dengan produk yang dihasilkan oleh ATM. pada masa-masa berikutnya mereka beralih melakukan kegiatan usaha yang sangat marginal, seperti pembuatan kain lap, urung kasur, dsb. Sejak tahun 1970-an banyak pabrik-pabrik pribumi yang dijual terhadap pengusaha asing atau WNI nonpribumi. Penjualan pabrik ini merupakan titik akhir dari rangkaian proses pengambilalihan perusahaan pribumi oleh pengusaha asing atau WNI nonpribumi.
Di era tahun 1973-1981 Indonesia mengalami masa oil boom dan sifat industrialisasinya sangat eksklusif pada substitusi impor. Faktor-faktor yang menentukan orientasi ke dalam adalah menumpuknya permintaan konsumen yang belum terpenuhi, cepatnya pertumbuhan ekonomi dalam negeri yang dimotori oleh kenaikan harga-harga komoditas dan meluasnya campur tangan pemerintah. Keberhasilan industrialisasi yang berorientasi ke dalam dihambat oleh terbatasnya pasar dalam negeri. Pada awalnya, ekspansi industri terjadi dengan cepat karena pasar dalam negeri sudah tersedia dan dibantu oleh kebijakan proteksi. Namun lambat laun mulai menyusut karena pasar dalam negeri telah terpenuhi (Manning, 1998 ; Ariff dan Hill, 1988).
Sebagai akibat kebijakan substitusi impor, posisi industri tekstil dihadapkan pada: (1) inefisiensi, (2) tingkat produktivitas yang rendah, (3) tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap bantuan luar negeri, dan (4) iklim usaha yang kurang menunjang, seperti tingkat bunga bank yang tinggi. Kondisi ini akan berakibat langsung terhadap kemampuan atau daya saing Indonesia di pasar internasional (orientasi ekspor) (Kusnadi, 1985).
Pada awal tahun 1980-an, industri tekstil Indonesia mengalami kemandekan akibat terlalu besarnya ekspansi yang dilakukan pada tahun 1970-an. Jumlah produk yang dihasilkan terlalu besar sehingga pasar domestik mengalami kelebihan pasokan. Tahun 1981-1982 merupakan titik terburuk hingga memerlukan reorganisasi dan restrukturisasi terhadap keseluruhan industri yang secara terus-menerus ditekankan di tingkat nasional. Banyak pengusaha kecil di Majalaya mengalami bangkrut. Beberapa menutup usahanya, sedangkan lainnya mengurangi produksi secara drastis, yaitu hanya menggunakan 50% dari alat tenun yang dimilikinya dan pengurangan jam kerja menjadi 1 shift (7 jam/hari) biasanya 2 shift (10 jam/hari). (Kompas, 30 September 1982 dan UPT, 1983 dalam Hardjono, 1990). Krisis ini berkaitan dengan dampak resesi dunia terhadap perekonomian Indonesia yang mengakibatkan daya beli dalam negeri semakin menurun, proteksi dari negara-negara pengimpor terutama Eropa dan Amerika Serikat, kesulitan likuiditas, dsb. (Kusnadi, 1985).
Untuk mengatasi krisis tersebut pemerintah memperkenalkan sertifikat sistem ekspor dan fasilitas kredit bank (Wibisono, 1987 dalam Hardjono, 1987). Berkaitan dengan peninjauan kembali kebijakan substitusi impor, pemerintah mendorong produksi untuk orientasi ekspor. Sebelumnya pabrik-pabrik besar memproduksi kain kualitas menengah yang jangkauannya untuk konsumen domestik. Padahal secara teknis mereka dapat memproduksi kain yang berkualitas lebih baik.
Dengan terbukanya kesempatan ekspor mereka diharapkan dapat memproduksi kain yang berkualitas tinggi untuk pasar ekspor sehingga dapat mengurangi kompetisi di pasar domestik (Ariff dan Hill, 1988; Hardjono, 1990). Upaya pemerintah yang lain adalah melakukan program ”bapak angkat”. Program ini tidak berjalan karena sejak awal telah muncul keluhan-keluhan dari ”bapak angkat” mengenai rendahnya kualitas kain yang diproduksi ”anak angkat”. Sementara itu, ”anak angkat” juga mengeluhkan rendahnya keuntungan yang diperoleh.
Akan tetapi pada praktiknya, program ini tidak berbeda jauh dengan sistem maklun (sistem subkontrak). Akhirnya produsen-produsen kecil sudah tidak tertarik lagi dengan program ini. Akhir tahun 1985, secara umum industri tekstil Majalaya mulai berada dalam posisi yang lebih baik daripada awal tahun 1980-an. Mereka mulai meraih keuntungan dari kemunculan pabrik-pabrik besar di berbagai daerah, seperti Kotamadya Bandung dan kecamatan-kecamatan di Dayeuhkolot, Cimahi, serta Ujungberung.
Mayoritas produsen Majalaya mulai merasakan perluasan pasar ini (Hardjono, 1990). Namun ini juga berarti kontrol terhadap keberlangsungan industri tekstil Majalaya menjadi semakin jauh dari tangan para pengusaha lokal karena sangat bergantung pada order dari industri-industri besar tersebut. Sementara risiko yang harus ditanggung cukup tinggi karena mereka harus berurusan langsung dengan para buruhnya. Segala macam tuntutan buruh tidak ditujukan pada pemberi order, tapi pada penerima order yang jika diperhatikan dalam keseluruhan rantai produksi yang ada mereka juga dikategorikan sebagai buruh.
sumber: batikyogya.wordpress.com/2008/08/21/pengetahuan-tekstil/
Di tengah gembar-gembor rekonstruksi sejarah nasional yang selama ini banyak dilencengkan untuk mendukung hegemoni kekuasaan, muncul juga keinginan untuk membuat sejarah lokal. Salah satu contoh adalah munculnya keinginan dari segelintir warga Majalaya untuk membuat sejarah lokal. Diharapkan bahwa sejarah lokal tersebut tidak hanya dibuat sebagai sebuah dokumentasi yang bisa diakses oleh generasi berikutnya untuk mengetahui sejarah leluhur mereka. Akan tetapi, sejarah lokal Majalaya juga bisa dijadikan bahan referensi proses perbaikan kondisi Majalaya saat ini.
Cerita sejarah lokal Majalaya tidak bisa dilepaskan dari kegiatan ekonomi dominan setempat, yaitu industri tekstil. Perkenalan masyakarat setempat dengan kegiatan tekstil telah terjadi sejak lama dan masih berlangsung hingga saat ini. Namun dalam perjalanannya telah terjadi banyak pergeseran yang mengakibatkan kontrol terhadap industri tekstil sudah tidak berada di tangan mereka. Posisi usaha mereka sudah banyak yang tidak independen dan menjadi maklun perusahaan besar maupun menengah. Perubahan-perubahan tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai kebijakan ekonomi dan politik tingkat makro. Oleh karena itu, sejarah industri tekstil Majalaya dari sisi pengusaha dan buruh serta berbagai kebijakannya menjadi penting untuk ditelusuri sebagai sebuah proses pembelajaran dan refleksi.
Sejarah industri tekstil Majalaya
Majalaya memiliki sejarah industri tekstil yang cukup panjang. Tahun 1930-an merupakan tonggak awal perkembangan industri tekstil Majalaya yang dipelopori oleh beberapa pengusaha tekstil lokal seperti Ondjo Argadinata, H. Abdulgani, dsb. Masa-masa tersebut juga diwarnai dengan mulai bermunculannya industri tenun rumahan yang masih menggunakan tustel (alat tenun bukan mesin). Penyebaran kegiatan menenun berlangsung cukup cepat karena (1) tingginya persentase rumah tangga yang tidak memiliki lahan dan melakukan pertanian marginal (2) kegiatan menenun merupakan tradisi lama, namun masih menjadi tipikal keterampilan perempuan kelas menengah (Hardjono, 1990 dan Pleyte, 1912 dalam Keppy, 2001). Selain itu keterlibatan buruh-buruh di pabrik-pabrik tenun pada awal tahun 1930-an memberi bekal mereka untuk membuka usaha tenun sendiri.
Saat pasar semakin terbuka mereka dengan mudah mengambil kesempatan tersebut karena modal yang diperlukan untuk membeli alat tenun masih murah dan bahan baku bisa diperoleh dari para pengusaha seperti putting out system. Pada masa-masa berikutnya industri tenun rumahan semakin menjamur di mana-mana. Hampir setiap penduduk Majalaya memiliki peralatan tenun dan membuka usaha tenun sendiri. Oleh penduduk yang telah berusia lanjut masa tersebut dikenang sebagai masa-masa keemasan Majalaya.
Industri tenun Majalaya mencapai puncaknya pada awal tahun 1960-an dan mampu memproduksi 40% dari total produksi kain di Indonesia. Akhir tahun 1964 Majalaya menguasai 25% dari 12.882 ATM (Alat Tenun Mesin) di Jawa Barat. Hampir seluruhnya terkonsentrasi di Desa Majalaya dan Padasuka (saat ini dimekarkan menjadi 3 desa, yaitu Desa Sukamaju, Padamulya, dan Sukamukti) (Palmer, 1972 dan Matsuo, 1970). Namun, hal ini merupakan kemajuan secara umum karena jika ditelusuri pada saat yang sama para pengusaha tenun lokal sudah mulai kehilangan pengaruhnya dan untuk mempertahankan kelangsungan produksi banyak perusahaan lokal yang beralih ke sistem maklun.
Industri tenun rumahan juga sudah mulai tergeser dan bangkrut karena tidak mampu bersaing dengan produk yang dihasilkan oleh ATM. pada masa-masa berikutnya mereka beralih melakukan kegiatan usaha yang sangat marginal, seperti pembuatan kain lap, urung kasur, dsb. Sejak tahun 1970-an banyak pabrik-pabrik pribumi yang dijual terhadap pengusaha asing atau WNI nonpribumi. Penjualan pabrik ini merupakan titik akhir dari rangkaian proses pengambilalihan perusahaan pribumi oleh pengusaha asing atau WNI nonpribumi.
Di era tahun 1973-1981 Indonesia mengalami masa oil boom dan sifat industrialisasinya sangat eksklusif pada substitusi impor. Faktor-faktor yang menentukan orientasi ke dalam adalah menumpuknya permintaan konsumen yang belum terpenuhi, cepatnya pertumbuhan ekonomi dalam negeri yang dimotori oleh kenaikan harga-harga komoditas dan meluasnya campur tangan pemerintah. Keberhasilan industrialisasi yang berorientasi ke dalam dihambat oleh terbatasnya pasar dalam negeri. Pada awalnya, ekspansi industri terjadi dengan cepat karena pasar dalam negeri sudah tersedia dan dibantu oleh kebijakan proteksi. Namun lambat laun mulai menyusut karena pasar dalam negeri telah terpenuhi (Manning, 1998 ; Ariff dan Hill, 1988).
Sebagai akibat kebijakan substitusi impor, posisi industri tekstil dihadapkan pada: (1) inefisiensi, (2) tingkat produktivitas yang rendah, (3) tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap bantuan luar negeri, dan (4) iklim usaha yang kurang menunjang, seperti tingkat bunga bank yang tinggi. Kondisi ini akan berakibat langsung terhadap kemampuan atau daya saing Indonesia di pasar internasional (orientasi ekspor) (Kusnadi, 1985).
Pada awal tahun 1980-an, industri tekstil Indonesia mengalami kemandekan akibat terlalu besarnya ekspansi yang dilakukan pada tahun 1970-an. Jumlah produk yang dihasilkan terlalu besar sehingga pasar domestik mengalami kelebihan pasokan. Tahun 1981-1982 merupakan titik terburuk hingga memerlukan reorganisasi dan restrukturisasi terhadap keseluruhan industri yang secara terus-menerus ditekankan di tingkat nasional. Banyak pengusaha kecil di Majalaya mengalami bangkrut. Beberapa menutup usahanya, sedangkan lainnya mengurangi produksi secara drastis, yaitu hanya menggunakan 50% dari alat tenun yang dimilikinya dan pengurangan jam kerja menjadi 1 shift (7 jam/hari) biasanya 2 shift (10 jam/hari). (Kompas, 30 September 1982 dan UPT, 1983 dalam Hardjono, 1990). Krisis ini berkaitan dengan dampak resesi dunia terhadap perekonomian Indonesia yang mengakibatkan daya beli dalam negeri semakin menurun, proteksi dari negara-negara pengimpor terutama Eropa dan Amerika Serikat, kesulitan likuiditas, dsb. (Kusnadi, 1985).
Untuk mengatasi krisis tersebut pemerintah memperkenalkan sertifikat sistem ekspor dan fasilitas kredit bank (Wibisono, 1987 dalam Hardjono, 1987). Berkaitan dengan peninjauan kembali kebijakan substitusi impor, pemerintah mendorong produksi untuk orientasi ekspor. Sebelumnya pabrik-pabrik besar memproduksi kain kualitas menengah yang jangkauannya untuk konsumen domestik. Padahal secara teknis mereka dapat memproduksi kain yang berkualitas lebih baik.
Dengan terbukanya kesempatan ekspor mereka diharapkan dapat memproduksi kain yang berkualitas tinggi untuk pasar ekspor sehingga dapat mengurangi kompetisi di pasar domestik (Ariff dan Hill, 1988; Hardjono, 1990). Upaya pemerintah yang lain adalah melakukan program ”bapak angkat”. Program ini tidak berjalan karena sejak awal telah muncul keluhan-keluhan dari ”bapak angkat” mengenai rendahnya kualitas kain yang diproduksi ”anak angkat”. Sementara itu, ”anak angkat” juga mengeluhkan rendahnya keuntungan yang diperoleh.
Akan tetapi pada praktiknya, program ini tidak berbeda jauh dengan sistem maklun (sistem subkontrak). Akhirnya produsen-produsen kecil sudah tidak tertarik lagi dengan program ini. Akhir tahun 1985, secara umum industri tekstil Majalaya mulai berada dalam posisi yang lebih baik daripada awal tahun 1980-an. Mereka mulai meraih keuntungan dari kemunculan pabrik-pabrik besar di berbagai daerah, seperti Kotamadya Bandung dan kecamatan-kecamatan di Dayeuhkolot, Cimahi, serta Ujungberung.
Mayoritas produsen Majalaya mulai merasakan perluasan pasar ini (Hardjono, 1990). Namun ini juga berarti kontrol terhadap keberlangsungan industri tekstil Majalaya menjadi semakin jauh dari tangan para pengusaha lokal karena sangat bergantung pada order dari industri-industri besar tersebut. Sementara risiko yang harus ditanggung cukup tinggi karena mereka harus berurusan langsung dengan para buruhnya. Segala macam tuntutan buruh tidak ditujukan pada pemberi order, tapi pada penerima order yang jika diperhatikan dalam keseluruhan rantai produksi yang ada mereka juga dikategorikan sebagai buruh.
sumber: batikyogya.wordpress.com/2008/08/21/pengetahuan-tekstil/
Langganan:
Postingan (Atom)